Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Presenatasi penduduk muslim di Indonesai mencapai 87% dari kurang lebih 528 juta jiwa. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, berimplikasi secara paralel sebagai negara dengan jumlah jama’ah haji terbanyak di dunia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan mengamati kouta jama’ah haji setiap negara muslim di dunia.
Indonesia pada tahun 2017 mendapatkan kouta haji terbanyak sebesar 168.000 jiwa, kemudian mendapatkan tambahan kouta hingga mencapai 221.000 jiwa. Di urutan kedua, pakistan mendapatkan kouta jama’ah haji sebesar 143.368 pertahun, kemudian disusul india pada urutan ketiga dengan kouta sebanyak 136.000 jiwa. Pada tahun 2019 Indonesia kembali mendapatkan tambahan kouta sebanyak 10.000 jiwa sebagai dampak selesainya beberapa konstruksi pembangunan masjidil haram, sehingga jumlah jama’ah haji pada tahun ini mencapai 231.000 jiwa. Hal tersebut mengindikasikan antusiasme masyarakat muslim Indonesia untuk melaksankan rukun Islam yang kelima bagi yang telah mampu secara finansial, medis, dan psikologis.
Haji merupakan ibadah fardhu bagi setiap muslim yang telah mampu melaksakannya sekaligus berposisi sebagai penyempurna rukun Islam karena terletak pada rukun Islam yang terakhir. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, secara logis filosofis dapat dipastikan bahwa haji mengandung suatu hikmah atapun nilai-nilai religius yang sangat bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradaban dunia. Hikmah dibalik pensyariatan ibadah haji dapat digali melalui pemikiran logika induktif yang belandaskan pada fakta empiris untuk menarik suatu kesimpulan logis.
Melalui pengamatan empiris, dapat diketahui bahwa haji adalah suatu rangkaian ibadah mengunjungi baitullah ka’bah yang dilaksanakan oleh umat Islam yang majemuk dengan latar belakang suku, etnis, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda. Pemandangan tersebut akan terlihat jelas ketikat para jama’ah haji sedang melaksanakan thawaf, sa’i dan wuquf di Arofah, dimana perbedaan fisiologis akan sangat tampak seperti, warna kulit hitam, putih, cokelat dan lain-lain. Perbedaan budaya antara sesama jama’ah haji juga akan sangat tampak dalam penggunaan bahasa sehari-hari, seperti penggunaan bahasa Arab, Inggris, Melayu, Jerman, India, Belanda, Prancis, Jepang dan lain-lain. Sementara itu, perbedaan latar belakang sosiologis para jama’ah haji hanya akan tampak apabila mereka saling berkomunikasi, berdiskusi dengan jama’ah haji lain yang datang dari berbagai negara dunia. Datangnya para jama’ah haji dari berbagai negara dunia merupakan realisasi serta bukti kebenaran firman Allah Swt, :
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ[1]
Menurut Imam Thabari, ayat di atas merupakan perintah Allah Swt, agar Nabi Ibrahim as mengajak manusia untuk menunaikan ibadah haji, kemudian ketika Nabi Ibarahim as menyeru manusia agar menunaikan ibadah haji, maka terdengarlah ajakan tersebut oleh setiap makhluk yang ada di bumi dan langit. Oleh sebab itu datanglah manusia dengan berjalan kaki dan berkendara dari berbagai jalan dan tempat-tempat yang jauh untuk menunaikan ibadah haji.[2] Hal ini menyebabkan haji menjadi ibadah yang dilaksanakan umat Islam dengan berbagai latar belakang sosial, budaya dan politik dalam satu waktu secara bersama-sama.
Pelaksanaan ibdah haji oleh seluruh umat islam dari berbagai penjuru dunia, merefleksikan prinsip “bhineka tunggal ika” dalam dimensi religius. Prinsip tersebut mungkin dapat disebut “islamisme bhineka tunggal ika” yang menjadikan seluruh umat islam di dunia dalam satu ikatan yaitu ketaatan kepada Allah Swt. Semua umat islam dari berbagai penjuru dunia yang berbeda suku, etnis, warna kulit, bahasa dan budaya melepaskan fanatisme dan rasialisme kelompok dengan memakai baju ihram yang sama, wuquf dan sa’i di temapat yang sama, serta thowaf mengelilingi ka’bah yang menjadi satu kiblat umat islam secara bersama-sama pula. Hal ini berimplikasi terwujudnya ittihad al-ummah al-islamiyyah (persatuan umat Islam) yang mengganti fanatisme dan rasialisme dengan egalitarianisme walaupun mereka berasal dari latar belakang suku, bangsa, budaya, sosial yang berbeda-beda. Ittihad al-ummah al-islamiyyah (persatuan umat Islam) secara eksplisit disebutkan dalam hadis Nabi Saw :
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌتَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى[3]
Hadis di atas, mendeskripsikan bahwa umat islam memiliki ikatan persatuan yang sangat kuat, sehingga di ibaratkan sebagai satu kesatuan tubuh yang apabila salah satu satu anggota tubuh terluka maka seluruh tubuh juga akan merasakan rasa sakit tersebut. Rasa empati yang sangat kuat atas apa yang dirasakan saudara muslim lainnya akan mendorong rasa saling mengakasihani dan menyayangi, tolong menolong antar sesama, meringankan penderitaan dan membela orang yang dianiaya dan semua positif lainnya yang akan mewujudkan pergaulan soisal humanis dan harmonis yang berlandaskan teologi لا إله إلا الله محمد رسول الله (tiada tuhan selain Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah).
Islamisme bhineka tunggal ika memiliki persamaan dengan bhineka tunggal ika yang menjadi prinsip fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya sama-sama menjadi norma pemersatu antara berbagai golongan, kelompok, suku, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam satu ikatan yang kuat dengan sifat progresif dalam membangun peradaban. Namun keduanya juga memiliki perbedaan dalam prinsip fundamental serta cakupan dan batas implementasi norma “kebhinekaan” dalam membangun persatuan. Bhineka tunggal ika yang menajadi dasar NKRI berlandaskan pada prinsip nasionalisme religius. Prinsip nasionalisme terrefleksikan dalam sila ketiga yaitu “persatuan indonesia”. Sedangkan prinsip religiositas terrefleksikan dalam sila dalam sila pertama yaitu “ketuhanan yang maha esa”. Kedua prinsip tersebut secara otomatis akan memberikan cakupan dan batas implementasi dasar negara “bhineka tunggal ika”. Prinsip religius “ketuhanan yang maha esa” mengahruskan semua umat beragama di Indonesia yang terdiri dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu dan lain-lain untuk bersatu bahu membahu membangun NKRI. Prinsip nasionalisme mengahruskan seluruh masyarakat indonesia yang berbeda suku, etnis, adat istiadat dan bahasa bersama-sama memajukan bangsa dan negara Indonesia. Kedua hal tersebut menyebabkan “bhineka tunggal ika” hanya memiliki cakupan dan dibatasi oleh wilayah teritorial republik Indonesia. Sementara itu, nilai “bhineka tunggal ika” dalam ibadah haji berlandaskan religiositas Islam, sehingga persatuan dapat diwujudkan melintasi batas teritorial negara dan bangsa namun hanya pada internal umat Islam.
Perbedaan pada nilai “bhineka tunggal ika” dalam ibadah haji dan dasar negara republik Indonesia tidaklah harus dipertentangkan, namun harus harus dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi serta diintegrasikan dalam kehidupan bangsa dan negara. Hal tersebut dikarenakan keduanya bertujuan mewujudakan persatuan yang berimplikasi terhadap tercapainya keadilan dan kemanusiaan. Nilai “bhineka tunggal ika” dalam ibadah haji melampaui batas-batas negara namun hanya berlandaskan satu agama (Islam), sedangkan nilai “bhineka tunggal ika” dalam dasar negara republik Indonesia dibatasi teritorial negara akan tetapi mengajak semua umat beragama untuk bersama-sama membangun peradaban. Oleh sebab itu, integrasi keduanya akan menghasilkan persatuan seluruh masyrakat dunia membangun peradaban dalam bingkai “bhineka tunggal ika” yang berlandaskan humanisme religius, sehingga terwujudlah kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial untuk seluruh masyarakat internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar