Oleh : Rizal M Nifsi
Pernahkah anda mendengar kyai gugel atau syeikh yutub? Seseorang yang tiba-tiba menjadi ustadz dengan dalil-dalil yang ia bawakan dengan lancar. Dalil tersebut digunakan untuk komentar kesamna-kemari dengan niat dakwah. Orang seperti itu biasanya golongan melakukan hijrah dari yang awalnya merasa paling kafir hingga menjadi ustadz yang suka mengkafirkan.
Memang benar, di zaman sekarang untuk mencari ilmu agama sangatlah mudah. Dengan bekal kuota dan baterai dari gawai, kita bisa mendapatkan berbagai macam ilmu yang dari “mbah” google. Sehingga sebagian masyarakat kita mendadak menjadi penafsir karena merasa punya banyak ilmu yang didapat dari internet.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Al Qur’an dan tafsir baiknya mengetahui pengertiannya dahulu. Al Qur’an secara bahasa diambil dari mashdar (kata kerja yang membutuhkan benda) dari qara’a-yaqra’u-qur’anan berarti bacaan. Secara istilah wahyu yang diturunkan secara muttawatir kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Sedangkan pengertian tafsir secara bahasa berasal dari fassara-yufassiru-tafsiran memiliki makna membuka. Az-Zahabi berpendapat bahwa tafsir mempunyai dua maksud yakni penjelasan dan pembuka yang tersembunyi dari Al Qur’an.
Perkembangan teknologi informasi saat ini sangat cepat. kalau tidak diimbangi dasar agama agama kuat menjadikan masyarakat yang “kagetan”. Masyarakat mudah terkejut dalam menyikapi suatu fenomena yang dirasa berbeda dengan apa yang dipahaminya. Sehingga banyak melahirkan perdebatan diantara golongan masyarakat.
Untuk menafsirkan Al Qur’an ataupun Hadist bukan merupakan hal yang mudah. Butuh proses yang panjang dalam belajar karena terdapat banyak ilmu yang menjadi sebuah pakem dalam menuju sebuah penafsiran. Para sahabat-pun yang notabene sempat hidup bersama Nabi juga melewati beberapa tahapan menuju penafsiran. Pertama, iman dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah suatu petunjuk yang benar. Kedua, patuh pada perintah dan menjauhi larangan Al Qur’an.
Menafsirkan harus paham arti Al Qur’an dari segi redaksi kebahasaan. Selain itu paham dengan makna yang terkandung serta tahu dan paham padanan kata lain dari ayat yang memang maknanya belum terjangkau belum bisa di sajikan di dalam ayat. Setelah itu yakinilah kembali bahwa Al Qur’an merupakan suatu kebenaran.
Pada dasarnya semua orang bisa melakukan penafsiran berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Namun untuk menjadi penafsir yang bermutu beberapa persyaratan yang harus ditempuh. Menurut dahlan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Tafsir hal-hal yang harus dipenuhi, yakni, pertama, penafsir mempunyai akidah atau keyakinan yang betul dan memiliki niat lillahi ta’ala selama melakukan penafsiran. Kedua, terbebas dengan kepentingan nafsunya. Ketiga, penafsir mampu mengklasifikasikan tema yang dibahas Al Qur’an. Keempat, menempatkan hadist nabi menjadi sandaran. Karena hadist merupakan sumber hukum Islam yang Kedua setelah Al Qur’an. Kelima, memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat. Karena mereka hidup sezaman oleh nabi Muhammad Saw. Keenam, merujuk kepada ulama’ terdahulu. Ketujuh Karena Al Qur’an menggunakan Bahasa Arab,memahami Ilmu Bahasa Arab merupakan hal yang fundamental namun tidak cukup bila sekadar mempelajari nahwu dan shorofnya. Ilmu balaghoh sangat penting dalam mencari makna Al Qur’an yang memiliki kesusastraan tinggi.
Hal yang juga diperhatikan adalah metode-metode untuk menafsirkan yakni sebagai berikut, metode ijmali merupakan metode yang sederhana, dengan bahasa ringan agar bisa dengan dipahami masyarakat walaupun cakupan bahasan penafsiran ini tidak terlalu dalam. Metode yang kedua, metode muhajirin atau analistis, bertujuan untuk menjelaskan dan mengumpulkan segala hal yang berkaitan dengan suatu kamar. Selanjutnya metode muaqirin, pengkomparasian ayat dengan ayat lain, hadist, atau penafsir. Yang terakhir tafsir tematik yang membahas suatu tema tertentu sehingga Al Qur’an bisa digunakan untuk mencari jawaban dari masalah di sekitar kita dengan bab-bab yang diinginkan.
Berdasarkan penjelasan diatas menjadi muffasir tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak sembarang orang bisa menjadi seorang penafsir. Butuh perjuangan untuk menjadi seorang mufasir. Tidak cukup mencari ilmu penafsiran melalui internet. Memerlukan sanad keilmuan yang jelas dan terhubung ke Nabi Muhammad Saw.
Para Mufasir
Abdullah bin Abbas adalah seorang penafsir yang terkemuka di kalangan para sahabat. Kedalaman dan keilmuannya sanagat dipercaya sahabat hingga tabiin. Banyak gelar disematkan kepada Ibn Abbas yakni, Al Bahr yang berarti lautan, bermakan memiliki ilmu seluas dan sedalam lautan; Tarjuman Al Qur’an berarti seorang penafsir terbaik, dan masih banyak julukan yang disematkan. Kehebatannya juga faktor berkah doa nabi Muhammad Saw. Selain itu beliau menguasai banyak disiplin ilmu dikuasainya juga digunakan untuk mendukung tafsirannya. Karya penafsirannya adalah Tanwir al-Miqyas min Tafsir Ibn Abbas merupakan hasil pengumpulan dan olahan Abu Thair Muhammad Ibnu Ya’qub al-Fairuzzabadi.
Salah satu poin penting untuk menjadi seorang penafsir adalah memiliki sanad guru yang jelas. Seperti halnya imam At Thabari seorang mufasir berasal dari Tabaristan, Persia. Lahir di pada tahun 225 H/839 M seorang yang zuhud dan semangat untuk menuntut ilmu. Imam Ath Thabari menghabiskan hidupnya untuk mencari berbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa, sastra, fiqh, dan hadis.
Sebagai efek samping dari luasnya penyebaran Islam ke pelosok dunia, pendidikan bahasa arab sangat perlu untuk dipelajari oleh calon mufasir. Ajaran Islam mencapai nusantara sehingga para pelajar mempelajari Bahasa Arab sebagai langkah pertama untuk memdalami agama Islam. Seperti halnya Kyai Bisri Musthofa, beliau mempelajari bahasa Arab di Pesantren Kasingan. Ilmu Nahwu, kitab Alfiyah menjadi pegangan utama dalam melakukan kegiatan penafsiran. Beliau seorang mufasir lokal dan Ulama yang sangat mashur dengan tafsir Al-ibriz.
Memulai petualangan keilmuannya saat usia 12 tahun saat pindah ke kota Ray. Muhammad bin Hamid ar-Razi merupkan guru hadis yang banyak mempengaruhi karya imam Ath Thabari dalam bidang sejarah. Beliau juga memperdalam ilmu periwayatan dari Ahmad bin Hammad ad-Dualaby. Setelah selesai mempelajari sejarah dan periwayatan Sang Imam berguru kepada Muhammad bin Basyar pada tahun 255 Hijriah untuk mempelajari hadis. Guru hadist lainnya adalah Ismail bin Musa al-Fazary, Hannad as-Sirry ad-Darimy al-Kufy, dan Abi Kuraib bin Muhammad al-‘Ala al-Hazamy. Beliau juga mempelajari fiqih Madzhab Imam Syafi’i yang diajar oleh al-Hasan bin Muhammad az-Za’farany, ar-Rabi bin Sulaiman, Ismail Ibn Yahya al-Muzanny,dan Yunus bin ‘Abd al-‘Ala (yang tiga terakhir adalah Murid Imam Syafi’i). Ibn Jabir juga sempat mengajar privat seorang anak menteri Ubayd Allah bin Yahya bin Khakan selama empat tahun saat di Baghdad. Salah satu karyanya adalah jami’ a-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beginilah contoh nyata bagaimana mencari ilmu. Tidak semudah memegang gawai!
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Abdur Rahman. 2010. Kaidah-Kaidah Tafsir,Jakata: Amzah.
Ghofur Saiful Amin.2008. Profil Para Mufasir. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Ghofur Saiful Amin.2013. Mozaik Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit KAUKABA.
Ilyas Yunahar. 2014. Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014.
Rizal M Nisfi
BalasHapusKece nih komplek IJ
BalasHapusMencari ilmu, tidak semudah memegang gawai
BalasHapusGood job!
BalasHapus